GALERI PERJUANGAN Mega Pro

24 Mei 2009 6 komentar








Bayu Pradana; “Tentang Pulihnya Krisis Global Pada 2011, Hanya Omong Kosongnya Susilo Bambang Yudhoyono”

15 Mei 2009 0 komentar


Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memperkirakan perekonomian global akan pulih pada tahun 2011, adalah omong kosong belaka. Adalah bohong apabila beliau mengatakan bahwa di negara-negara maju, tempat berpusatnya krisis telah mencapai titik bawah, dan kini sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.

Dalam hal ini, komunitas global memang sudah sepakat melakukan berbagai upaya pemulihan, juga pada tingkat regional seperti Asean. Sayangnya apa yang dilakukan komunitas global dan regional tidak diikuti pemerintah Indonesia dengan program yang sejalan dengan komunitas global dan regional.

Mari kita tengok stimulus yang dinilai banyak fihak sebagai kebijakan yang salah kaprah. Dan mungkin PNPM Mandiri yang telah banyak menghamburkan uang negara yang hingga kini-pun manfaatnya sulit dirasakan.

Tujuh (7) prioritas yang dicanangkan Presiden SBY untuk keluar dari jerat resesi global, tidaklah lebih dari sebuah lelucon untuk menghibur masyarakat kita yang telah lelah secara terus menerus menjadi korban ekonomi yang tidak ada ujungnya.

Pertumbuhan ekonomi juga selalu serta merta di-‘klaim’ pemerintah sebagai prestasi yang patut dibanggakan.

Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 juga tidak terlalu menggembirakan. Dari segi ekonomi, lagi-lagi tidak ada tanda-tanda kesejahteraan yang meningkat.

Paskah Suzetta, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatakan bahwa Indonesia mengalami prestasi dibidang ekonomi sebesar 6,3%, sangat tidak riil apabila kenyataannya pertumbuhan ekonomi kita hanya dikisaran 4%. Itupun masih disertai gejolak meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran yang kian memprihatinkan.

Jadi, gejala diatas sangat terlihat ketidakmampuan pemerintahan SBY-JK, terutama tim ekonomi dalam ‘mengamankan’ masyarakat Indonesia dari resesi global serta angka pengangguran dan kemiskinan yang semakin hari kian memprihatinkan. Beban ekonomi masyarakat tidak sepadan dengan penghasilan. Pemerintahan SBY-JK sangat tidak pro-rakyat, melainkan sangat feodal dalam berbagai kebijakan. Seperti menjajah di negara sendiri.

Tanah Untuk Korporasi

10 Mei 2009 0 komentar


Suatu kekeliruan besar apabila Undang-undang Penanaman Modal hanya dipahami dalam perspektif ketaatan pada mekanisme, namun merelatifkan aspirasi publik dan konsepsi kerakyatan sebagai ideologi dasar pembuatan undang-undang. Kualitas keputusan (baca undang-undang) harus menjadi bagian arsitektur strategik bangsa untuk menumbuhkan kesadaran arah masa depan (sense of direction).

Dalam realitas globalisasi, kesadaran arah masa depan lebih ditekankan pada perspektif ekonomi dengan mengedepankan kompetisi/daya saing, efisiensi, transparansi dan kelenturan terhadap mekanisme pasar. George Soros dengan tajam mengkritik pemerintahan yang terbuai kehebatan mekanisme pasar namun melupakan regulasi. Bahkan liberalisasi yang berlebihan menciptakan fundamentalisme pasar yang menjadikan korporasi sebagai institusi patologis. Contoh konkritnya adalah aksi unilateral atas Irak yang �dibenarkan� demi kepentingan korporasi yang bergerak di industri persenjataan.

Kekuatan mayoritas legislator dan pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat ternyata mengikuti credo fundamentalisme pasar dan menjadi sempurna ketika hak atas tanah dilegalkan sebagai �obat mujarab� penarik investasi. Disinilah kompetisi yang sebenarnya terjadi sehingga hak guna usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana dirumuskan di Pasal 22 UU Penanaman Modal.

Ketentuan tersebut semakin menyempurnakan bekerjanya dependency theory secara total dimana negara-negara kaya menyerap surplus value dari negara-negara dunia ketiga melalui eksploitasi raw material. Dalam teori ini, maka tanah dan bahan baku hanya sebagai sumber utama pendapatan negara. Argumentasi yang memaparkan kisah panjang konflik sumber daya agraria antara rakyat dengan penjajah Belanda dan antara rakyat dengan korporasi besar tidak mampu membendung pencantuman hak atas tanah.

Perdebatan Hukum
Perang argumentasi terhebat berkaitan hak atas tanak melunak oleh penegasan dan jaminan dari ahli hukum pemerintah bahwa hak atas tanah tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Akrobat hukum pun dilakukan dengan memasukkan kata-kata �dapat diberikan�, sebagai opsi bagi pemerintah setelah seluruh persyaratan terpenuhi.

Pembenaran juga diberikan dengan mengutip ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 yang mengatur ketentuan perpanjangan dimuka sekaligus terhadap hak atas tanah. Fakta yang ada, tidak ada satu kata pun dalam PP yang memperkuat pendapat pemerintah. Sayang fakta ini ditemukan pada babak terakhir pembahasan. Disinilah terjadi penyesatan informasi demi menjaga �sensualitas� Undang-undang Penanaman Modal dimata investor.

Penyesatan informasi terjadi pada tiga aspek. Pertama, dengan menempatkan PP yang secara hirarki berada di bawah UU sebagai konsideran atau pertimbangan dalam penyusunan UU. Kedua, aspirasi publik dan pendapat ahli hukum agraria dimentahkan oleh simbolisasi legalitas kewenangan DPR dan Pemerintah dalam pembahasan undang-undang. Buktinya permintaan untuk melakukan uji publik ditolak demi pemenuhan janji terhadap investor. Ketiga, undang-undang ini terlalu jauh masuk ke ranah yang paling sensitif dan mereduksi kekhususan Undang-undang Pokok Agraria. Fakta di atas semakin memperkuat terjadinya pelanggaran UU No 5 tahun 1960 dan bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Minderheids nota yang diberikan oleh Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa justru dicurigai sebagai politik tebar pesona dan dianggap mengancam iklim investasi yang tidak kunjung membaik. Inilah kalau demokrasi masih berada di tatanan prosedural yang tidak membuka pintu untuk melakukan penundaan. Apakah ini cerminan kekuatan lobi korporasi sebagai phenomena globalisasi?

Kekuatan Korporasi
Dalam politik tidak ada hal yang kebetulan, lebih-lebih terhadap realitas kuatnya pengaruh korporasi terhadap kebijakan. Karena itulah argumentasi pemerintah dan fraksi-fraksi pendukung HGU 95 tahun hanyalah sebagai �akrobat politik� bahkan suatu penerapan keliru dari state of the art of politics. Apakah perumusan tersebut sebagai hasil lobi jejaring korporasi besar yang diuntungkan oleh kepastian hak atas tanah? Fakta yang ada, keberhasilan memanipulasi Undang-undang no 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, menjadikan Freeport di Papua, Newmont di NTB, Caltex/Chevron di Riau, ExxonMobil di Aceh dan di Blok Cepu berjaya dalam genggaman asing. Disinilah hukum ditempatkan sebagai alat klaim atas pembenaran untuk kepentingan tertentu. Hukum bukanlah kenyataan baku, melainkan dapat direkonstruksi berdasar kepentingan tertentu. Bahkan ditengah krisis realisasi investasi, Pemerintahan SBY-Kalla lebih suka �menginvestasikan� dana lebih dari tiga trilyun rupiah untuk membeli beras dari petani Vietnam dan Thailand daripada menanamkan untuk kepentingan petani di negeri sendiri.

Legitimasi kekuasaan
Refleksi atas pembahasan RUU Penanaman Modal menempatkan pentingnya nasionalisme, sumber legitimasi kekuasaan dan tanggung jawab moral penyusunan undang-undang. Pemerintah dan DPR harus jujur mengakui terjadinya perubahan paradigma kekuasaan dan otoritas kekuasaan. Faucoult (1980) mengatakan bahwa kekuasaan telah mengalami perubahan, ia bukan lagi sesuatu yang melekat pada status. Pemegang otoritas, tidak selalu dilekati dengan kekuasaan. Karena itulah menjadi penting untuk melihat orientasi dan dasar legitimasi kekuasaan agar pembahasan undang-undang tidak terjebak pada sandaran kelompok kepentingan. Dengan demikian Senayan dan Istana Presiden dapat menjadi ajang kontestasi kekuasaan dan perebutan pengaruh kelompok kepentingan, termasuk jaringan modal tertentu dan relasi politik internasional tertentu.

Ketika kritik publik tidak bisa membendung pengesahan undang-undang, maka keputusan tersebut pasti akan dikoreksi oleh sejarah. Para pemuja penanam modal harus diingatkan bahwa sumber daya agraria tidak berada dalam landscape geografical semata. Di atas sumber daya agraria terbentuk pula hubungan-hubungan sosial dan kultural, bahkan identitas kelompok direproduksi di atas landscape yang sama. Inilah potensi ancaman terbesar ketika hak guna usaha diberikan selama 95 tahun.

Di luar itu, demokrasi modern menempatkan masyarakat sipil pada peran penting dalam proses kontestasi kekuasaan. Walaupun masyarakat sipil bukanlah pemegang otoritas, namun merekalah pemberi legalitas kekuasaan dan merekalah pemilik legitimasi kekuasaan. Kekuatan energi kolektif rakyatlah yang akan meluruskan ketidakadilan yang terjadi.

Demokrasi kini berproses dalam peningkatan kesadaran politik rakyat. Masih ada harapan untuk bangkit. Syaratnya, setiap keputusan politik harus diaudit manfaatnya bagi rakyat demi terwujudnya kedaulatan di bidang politik, keberdikarian di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Inilah Trisakti yang selalu relevan dengan tantangan jaman. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Demokrasi dan Nasib Rakyat Miskin

0 komentar



APAKAH demokrasi otomatis membawa perbaikan nasib rakyat miskin? Jawabnya: tidak selalu. Buktinya, nyaris sepuluh tahun kita menjalani era demokrasi, tapi faktanya nasib kaum miskin tetap saja merana. Petani, buruh, buruh tani, pedagang kaki lima, pengusaha lemah, penganggur, justru makin hari kian sulit mengusahakan penghidupannya.

Janji-janji parpol atau politisi yang begitu meninabobokan kaum miskin selama kampanye, seolah sah-sah saja jika tidak direalisasikan seusai pemilu.

Elite politik lalu sibuk sendiri dengan agenda pembagian jatah kursi, pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, ataupun program-program elitis lainnya. Sedangkan kaum miskin dilupakan begitu saja, kecuali dengan sejumlah kecil program karikatif seperti bantuan langsung tunai atau beras keluarga miskin (raskin) –yang lebih terkait politik pencitraan pemerintah belaka dan hampir tak berdampak pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.

Melalui demokrasi, rakyat miskin secara politik memang berdaulat. Tapi tidak demikian dalam lapangan ekonomi. Kaum papa memang leluasa memilih parpol atau wakilnya selama pemilu. Namun begitu pemilu rampung, wong cilik harus menghadapi lagi kenyataan: nasib mereka tak juga lebih baik.

Bahkan, tak sedikit kaum miskin yang justru merasakan, sesudah era demokrasi, nasibnya malah lebih buruk: jadi korban PHK, diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi buruh kontrak, menjadi petani padi yang terus merugi, bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha raksasa transnasional, atau digusur lokasi usahanya demi ketertiban kota.

Maka tepat jika para bapak bangsa kita, seperti Soekarno-Hatta, sejak dini mengingatkan: demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi, hanya akan menyandera kaum miskin tetap abadi dalam ketidakberdayaannya.

Lantas, yang jadi soal, bagaimana mengoptimalkan demokrasi politik agar melahirkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi? Bagaimana agar proses politik demokratis mampu memperbaiki nasib kaum yang paling miskin dan terpinggirkan?

Di sini mestinya difahami bahwa hidup sejahtera ialah salah satu hak asasi rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi dengan sendirinya meniscayakan hak setiap rakyat untuk disejahterakan kehidupannya oleh penyelenggara negara.

Sebaliknya negara atau pemerintahan, seperti disinggung Pembukaan UUD 45, wajib melakukan kegiatan bagi terpenuhinya hak hidup sejahtera atau kesejahteraan umum tersebut.

Politik Anggaran
Salah satu yang bisa dilakukan para penyelenggara negara agar proses politik demokratis menjamin perbaikan nasib rakyat kecil –yang merupakan mayoritas warga bangsa— ialah dengan memanfaatkan hak politik anggaran di parlemen.

Kenapa? Karena sejak amandemen UUD 45, fungsi bujet atau penganggaran ada di tangan legislatif. Dengan kata lain, boleh saja eksekutif menyusun rencana muluk-muluk, tapi jika anggarannya tidak disetujui DPR atau DPRD, ide mereka takkan dapat diimplementasikan dalam kenyataan.

Di sinilah letak strategis peran anggota legislatif, dari mana pun asal parpolnya, untuk dapat “memaksa” eksekutif agar hanya menjalankan agenda yang benar-benar prorakyat atau memihak rakyat miskin.

Secara umum, agar lebih membawa manfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, maka politik anggaran yang dilakukan DPR atau DPRD harus mengupayakan agar alokasi belanja publik selalu lebih besar daripada alokasi biaya aparatur pemerintah atau lembaga negara. Idealnya, alokasi belanja publik harus mencapai 50 persen lebih dibanding alokasi belanja pegawai.

Akan tetapi, alokasi tiap sektor dari anggaran belanja publik ini pun tetap harus dikontrol. Sebab percuma saja alokasi belanja publik besar tapi peruntukannya lebih untuk kepentingan elite juga, seperti pembelian mobil dinas pejabat, pembuatan taman kota, pembangunan rumah dinas, dan seterusnya.

Karenanya, agar berdampak perbaikan nasib kaum miskin, prioritas anggaran belanja publik mestinya untuk membiayai agenda yang populis atau memihak kepentingan rakyat miskin. Lebih baik lagi jika agenda tersebut memiliki efek berantai bagi peningkatan kesejahteraan wong cilik.

Misalnya, untuk membangun sentra-sentra pertumbuhan ekonomi (center of growth) baru, seperti pasar atau ruko, yang bisa diakses pengusaha kecil; penciptaan lapangan kerja baru secara massal; beasiswa bagi anak-anak pintar keluarga miskin; penguatan modal pengusaha lemah dan koperasi secara bergulir; dan sebagainya.

Tapi sayangnya, APBN kita sejak reformasi hingga sekarang ini masih saja lebih besar mengalokasikan anggaran bagi belanja pegawai ketimbang belanja publik. Demikian juga dengan APBD-APBD.

Karena itu tak heran jika mayoritas rakyat miskin akan selalu merasa kecewa seusai pemilu. Sebab, siapa pun yang berkuasa, parpol mana pun yang tampil sebagai pemenang pemilu, ternyata muaranya sama saja: uang negara lebih banyak dihamburkan untuk menggaji pegawai atau menopang biaya aktivitas para birokrat.

Ironisnya, kendati telah memakan anggaran negara melebihi alokasi belanja publik, tetap saja birokrasi kita tidak efisien dan terkenal korup.

Kaukus Rakyat Miskin

Walhasil dituntut kepekaan nurani sekitar 20 ribu wakil rakyat kita untuk betul-betul memihak rakyat miskin tatkala akan menggolkan RAPBN atau RAPBD yang diajukan eksekutif. Program-program yang tak langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat harusnya disingkirkan. Sebaliknya, program yang prorakyat, terutama mayoritas rakyat yang lemah (dhu’afa) dan terpinggirkan (musdhad’afin), harus selalu diprioritaskan.

Memang, upaya menyejahterakan rakyat miskin melalui saluran demokrasi tidak semudah membalikkan tangan. Namun komitmen memperjuangkan perbaikan kehidupan rakyat harus tetap berlangsung sejalan kian meningkatnya kualitas kita dalam berdemokrasi.

Jika perlu, demi memperjuangkan nasib kaum miskin ini, para anggota legislatif lintas parpol –yang sama-sama punya keberpihakan kepada rakyat miskin— dapat membentuk kaukus rakyat miskin. Kaukus ini memiliki program perjuangan berupa mengawal tiap produk perundangan dan terutama politik anggaran DPR/DPRD agar selalu memihak atau menguntungkan rakyat miskin.

Apabila harapan ini bisa dipenuhi, maka siapa pun yang menjadi eksekutif atau pelaksana pemerintahan, tidak masalah bagi rakyat miskin. Sebab anggaran yang dialokasikan sejak dini selalu diarahkan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat kecil.

Dengan demikian, harapan bahwa suara wakil rakyat identik dengan suara rakyat bukanlah mimpi atau utopia belaka. Dan, karena rakyat kebanyakan ialah kaum miskin atau wong cilik, maka dengan lain kata: demokrasi bisa dirasakan tak cuma membawa manfaat politik bagi rakyat kecil, tapi juga manfaat ekonomi bagi kaum marjinal. Semoga.