Pilkada Langsung dalam Cengkraman Partai Politik Oligarkis

14 Oktober 2007 0 komentar

Pilkada langsung menjadi ikhtiar politik guna membangun proses demokratisasi ditingkatan lokal. Hal ini tentunya menjadi langkah awal bagi masyarakat lokal dalam menata pemerintahan yang akuntable, transparan dengan legitimasi langsung ditangan rakyat. Pemilu Presiden secara langsung yang berjalan secara aman dan lancar semakin mencerminkan bahwa bangsa ini telah melakukan proses demokrasi, walaupun demokrasi sebatas formal-prosedural.
Kiranya, pilkada langsung sebagai hajatan demokrasi ditingkatan lokal akan menghadapi berbagai persoalan yang amat pelik, hal itu terjadi manakala realitas politik tidak berjalan sesuai dengan substansi dan cita-cita politik itu sendiri, akhirnya pilkada langsung yang dianggap akan melahirkan embrio masyarakat sipil yang kokoh (strong civil society) menjadi “absurd” manakala elit tetap menjadi aktor dominan yang berperan penuh dalam proses pilkada tersebut. Dan pada gilirannya, pembodohan politik yang dilakukan elit tidak bisa terbantahkan keabsahannya. Rakyat menjadi komoditas politik elit untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan itu, maka pilkada sebagai pintu masuk (entry point) penguatan masyarakat sipil hanya sekadar dongeng politik, karena partisipasi politik serta perilaku politik rakyat masih berkutat dalam ruang politik mobilisasi, di mana rakyat tidak paham makna dan substansi politik yang sebenarnya.
Sebagian kalangan menilai, bahwa pilkada langsung sebagai momentum politik ditingkatan lokal tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi, justru yang terjadi dominasi dan hegemoni elit. Tentunya, bukan rahasia lagi bahwa keterlibatan partai politik dalam pilkada langsung menjadi batu sandungan yang amat serius terbanggunnya proses demokratisasi ditingkatan lokal, karena secara yuridis dalam pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa pengusulan calon pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan melalui satu pintu yaitu partai politik atau gabungan partai politik.
Sementara calon indipenden yang akan meramaikan pesta demokrasi tersumbat oleh mekanisme yang tidak mencerminkan preoses demokratisasi. Walaupun, dalam pasal 59 ayat 3 disebutkan bahwa parpol membuka seluas-luasnya bagi calon diluar parpol. Sangat nampak bahwa partai politik, utamanya partai besar menjadi hantu demokrasi, sehingga pada gilirannya partai politik mengingkari khittah kelahiranya sebagai wadah pendidikan politik dan sosialisasi politik di mana nantinya diharapkan mampu menumbuhkan partisipasi politik rakyat, bukan transaksi politik yang selama ini berlangsung.
Pilkada langsung menjadi rezim neo-otoritarianisme yang sengaja diciptakan melalui UU 32/2004, sehingga ruh demokrasi tercerabut dan tereduksi dari makna sejatinya. Akhirnya, pilkada tidak selaras dengan nafas demokrasi yang memberikan ruang yang sama, kesempatan sama bagi masyarakat. Maka pilkada sebagai medium tegaknya proses demokratisasi sirna ketika dihadapkan dengan UU parpol yang sarat dengan muatan politik itu.
Jika pilkada langsung disandarkan pada makna dan nilai-nilai demokrasi, maka sejatinya parpol tidak menjadi jalan satu-satunya yang menutup rapat bagi calon yang nonpartisan, karena calon nonpartisan tidak medapatkan celah untuk ikut terlibat dalam meramaikan pesta demokrasi ditingkatan lokal tersebut. Tentunya ini menjadi realitas politik dalam pilkada langsung yang katanya menjadi benih tumbuhnya demokrasi itu, padahal yang terjadi, pilkada justru menjadi sandiwara politik elit belaka.
Munculnya UU partai politik dalam pilkada langsung di mana partai politik bisa mendaftarkan kadernya menjadi calon kepala daerah manakala partai itu mencapai 15% di parlemen. UU ini mengindikasikan bahkan semakin mengkokohkan bahwa pilkada langsung tidak diarahkan untuk membangun budaya politik yang demokratis. Justru pilkada langsung menjadi ajang bagi partai besar untuk manampilkan kekuatannya. Realitas politik dalam pilkada ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Jika pilkada langsung menjadi ijtihad politik ditingkatan lokal dalam membangun masayarakat lokal (local soceity) yang demokratis, mengapa harus melalui parpol, dan mengapa parpol itu harus mencapai 15% di parlemen untuk mendaftarkan kadernya menjadi kepala daerah dalam pilkada itu?.
Realitas di atas menjadi bukti kelam dalam proses politik di tingkatan lokal, karena yang terjadi bukan penguatan masyarakat sipil, akan tetapi justru hegemoni dan cengkraman partai politik yang oligarkis yang membrangus kebebasan serta kesempatan bagi masyarakat sipil terhadap hak politiknya. Akhirnya, pilkada langsung di politisasi untuk sekadar meraih kekuasaan semata, pilkada tidak mendemokrasikan sebuah demokrasi yang berpijak pada tatanan serta nilai-nilai yang diarahkan pada kepentingan masyarakat banyak. Akan tetapi pilkada langsung tampil dengan wajah menakutkan bagi masyarakat karena hanya penguasa, pengusaha dan elit politik yang mampu menikmati hajatan demokrasi ditingkatan lokal tersebut. Lagi-lagi rakyat dijadikan komoditas politik oleh elit politik.
Agaknya, pilkada langsung sebagai momentum demokrasi ditingkatan lokal menjadi sulit tercapai. Karena paradigma politik elit belum memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam peralihan kepemimpinan dan kekuasaan. Justru, elit politik terjebak dalam paradigma perebutan kekuasaan, sehingga rakyat sebagai pelaku politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Rakyat sebagai aktor politik sekaligus mahluk politik tidak medapatkan porsi yang mampu mewujudkan hak politiknya. Sejatinya, elit politik memiliki pandangan progresif agar memberikan hak penuh kepada rakyat untuk mengembalikan fitrahnya sebagai mahluk politik (zoon politicon).
Pilkada langsung dan partai politik menjadi keniscayaan politik saat ini yang tidak bisa kita bantah. Bagaimanapun partai politik menjadi spektrum politik guna membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat yang menghargai pluralisme, keragaman etnis, budaya, ras dan agama. Hal itu menjadi perekat terbangunnya sebuah demokrasi, maka menafikan partai politik berarti secara tidak langsung menghacurkan demokratisasi itu sendiri.
Jika Partai politik konsisten dengan nafas sejarah kelahirannya, maka partai politik tidak sekadar menjadi arus mobilisasi kader partai yang sering tampil ketika terjadi suksesi kepemimpinan dan kekuasaan (baca:pemilu), partai politik harus berani tampil untuk melakukan pendidikan politik (political education) terhadap kader dan simpatisan partai. Dengan demikian, cita-cita politik untuk membangun masyarakat yang aman, sejahtera serta berpijak pada nilai-nilai kebenaran akan tercapai.
Kita tidak bisa mengingkari , bahwa partai politik menjadi instrumen stabilitas politik yang sangat efektifk. Peranserta partai politik dalam proses demokrasi menjadi hal yang amat penting, karena tanpa peranserta partai politik, negara akan mengalami destabilisasi politik. Nah, tentunya tidak ada pilihan lain, bahwa pilkada langsung menjadi bagian integral antara partisipasi politik rakyat dengan partai politik itu sendiri. Konsekuensinya, kita sebagai masyarakat sekaligus pelaku politik dalam pilkada langsung dituntut terlibat aktif agar pesta demokrasi ditingkatan lokal berjalan dengan aman. Semoga.

ALTERNATIF GLOBALISASI NEOLIBERAL

0 komentar

Pendahuluan
Dewan Gereja-Gereja Sedunia (World Council of Churches/WCC) dalam Sidang Raya-nya yang ke-9 di Porto Alegre, Brazil, yang berakhir 23 Februari yang 2006 lalu merilis sebuah dokumen penting dalam sejarah gereja di era globalisasi neoliberal. Dalam dokumen resminya yang berjudul “Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE)” menyatakan dengan tegas bahwa“. Paradigma ekonomi neoliberal telah mengakumulasikan kekayaan material di tangan sekelompok kecil orang. Proses akumulasi kekayaan itu telah membawa ketimpangan yang semakin besar dan kecenderungan destabilisasi yang tinggi. Kehidupan mereka yang miskin telah dikorbankan demi keuntungan mereka yang kaya”.Seruan progresif WCC itu adalah hasil dialektika perjalanan panjang gereja-gereja sedunia dalam mengamati perkembangan globalisasi neoliberal sejak Sidang Raya 1998 di Harare (dengan dokumennya berjudul “The Logic of Globalization Needs to be Challenged by an Alternative Way of Life of Community in Diversity”. Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tersebut, gereja-gereja sedunia mengambil sikap untuk berpihak kepada gerakan sosial dan serikat buruh dalam rangka melawan kerakusan modal dalam globalisasi neoliberal yang semakin membawa dunia kepada ketidakadilan. Bersama-sama elemen masyarakat sipil, gereja-gereja memperjuangkan pemberantasan kemiskinan, perdagangan yang adil, pengendalian dan pengaturan pasar keuangan global, kelestarian alam, melawan privatisasi kebutuhan publik, reformasi agraria, kelayakan kerja dan upah, dan melawan kekuasaan hegemoni pasar.Bagaimana tidak? Ditengah mitos globalisasi neoliberal yang katanya akan mengangkat dunia dari keterpurukan, jumlah orang miskin justru meningkat dari 800 juta orang pada tahun 1995 (ketika World Trade Organization/WTO didirikan) menjadi 850 juta pada tahun 2005. Laju pertumbuhan ekonomi per kapita baik di negara maju maupun di negara berkembang pun melambat. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara-negara termiskin di dunia (dengan PDB per kapita antara US$ 375 – US$ 1.121 pertahun) sejak periode 1980-2000 terus melambat 0.5% tiap tahun. Globalisasi telah membawa dunia pada jurang kemiskinan yang semakin dalam, sehingga 20% penduduk terkaya di dunia menguasai 86% total konsumsi dunia. Kelestarian lingkungan hidup pun memburuk dengan deforestasi mencapai 940.000 kilometer persegi di wilayah-wilayah termiskin dunia sejak 1990.Inilah kenyataan globalisasi dimana Indonesia pun turut ‘bermain’ dengan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal dengan pencabutan jaminan sosial melalui subsidi dan menjual semakin banyak sektor-sektor hajat hidup orang banyak kepada para pemodal dengan jargon ‘pasar bebas’.
Komponen Pokok Neoliberalisme
Paradigma ekonomi neoliberal memiliki tiga komponen pokok. Pertama, ia mengangkat peran pasar diatas peran negara, civil society dan sistem demokrasi partisipatoris dalam menata ekonomi dan arus barang dan modal. Kedua, mendewakan peran dan cakupan sektor privat dan kepemilikan privat di atas kepentingan publik. Ketiga, menganggap bahwa tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat dicapai melalui pasar. Sehingga ketika kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberalnya ternyata justru tidak membawa hasil seperti yang dijanjikan, maka kesalahan akan ditimpakan semata kepada tata kelola pemerintahan yang buruk (bad governance).Paradigma inilah yang diagung-agungkan oleh para promotor neoliberal, diantaranya Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada periode 1980-an, dengan mengatakan “There is no alternative!”. Bandingkan dengan pidato mantan presiden Soeharto pada pembukaan Konferensi APEC di Bogor, 1994).Ironisnya di Indonesia unsur privatisasi banyak dilakukan atas rekomendasi birokrasi, hal ini justru akan semakin memperburuk keadaan. Masyarakat sipil terus-menerus menelan pil pahit akibat sifat dari pada kapitalisme pemerintah nya sendiri.
Globalization from BelowGerakan progresif sedunia melawan neoliberalisme menyerukan alternatif terhadap globalisasi neoliberal. Perlawanan itu datang dari gerakan negara-negara Amerika Latin yang bekerja sama dalam forum ALBA (Alternativa Bolivariana América), kerja sama gerakan sosial sedunia melalui World Social Forum (WSF), sampai kepada Dewan Gereja-Gereja Sedunia sebagaimana disebutkan di atas.Perlawanan inilah yang disebut oleh Steger (Globalism, 2005) sebagai ‘globalization from below’ (globalisasi dari bawah) yang merupakan anti-thesis dari ‘globalization from above’ (globalisasi dari atas). Nasib dunia tidak boleh hanya ditentukan oleh para korporat besar dan para elit yang berkumpul dalam WTO. Nasib orang-orang miskin tak boleh diperdagangkan sebagai trade-off dari liberalisasi perdagangan sebagaimana terjadi pada sidang-sidang tawar menawar di WTO.‘Globalisasi dari atas’ harus dilawan sebelum dunia seluruhnya lunas dijual kepada para pedagang. ‘Globalisasi dari bawah’ mengangkat suara-suara yang selama ini tak didengarkan dalam WTO dan World Economic Forum (WEF), yakni suara masyarakat miskin dan marjinal untuk turut serta menentukan arah dunia. ‘Globalisasi dari bawah’ menyerukan agar globalisasi neoliberal dengan perdagangan bebas-nya (free trade) digantikan dengan perdagangan yang adil (fair trade). Sebagaimana dikatakan oleh Steger, “relasi pasar memang penting, akan tetapi demi melayani kebutuhan manusia, maka pasar harus diabdikan pada kesejahteraan seluruh manusia”
Penutup
Pernyataan kaum kristiani melalui Dewan Gereja-Gereja Dunia patut mendapatkan simpati. Pasalnya, kaum Kristiani jauh memperhatikan akar rumput ketimbang negara kita yang pemerintahannnya mayoritas dikuasai Muslim.Bahwa Globalisasi dari atas tidak selalu mendengarkan suara-suara rakyat, tentunya hal seperti ini berimplikasi pada sektor ekonomi masyarakat yang kian carut-marut, disertai pula meningkatnya angka kemiskinan.Patut dicurigai bahwa beberapa Organisasi Internasional (OI), banyak dijadikan pangkalan negara-negara kapitalis. Mereka memainkan situasi menggunakan suatu sistem organisasi yang berjalan. Tentunya dari segi yuridis juga mereka mainkan.

Kerjasama Militer Indonesia-Amerika Serikat

06 Oktober 2007 0 komentar

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat menerima kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld, meminta dan berharap agar normalisasi hubungan militer Indonesia-AS yang sudah berjalan penuh dapat berlangsung permanen.
Harapan ini bisa dipahami mengingat, pertama, hubungan kerja sama bidang pertahanan kedua negara memang dinamis. Kecenderungan ini bisa dilihat dari pengalaman, saat Presiden Soekarno menyatakan perang dengan Belanda untuk pembebasan Irian Barat, AS tidak memenuhi permintaan Indonesia. Penolakan ini disebabkan sikap politik AS lebih berpihak ke Belanda sebagai bagian dari NATO.
Tahun 1970 sampai 1980-an peralatan persenjataan AS mulai masuk Indonesia. Namun, karena kerusuhan Dili, November 1991, AS mengeluarkan kebijakan menghentikan pasokan alat pertahanan ke Indonesia. Kebijakan ini diperkuat kebijakan embargo militer AS terhadap Indonesia pasca jajak pendapat Timor Timur tahun 1999.
Pada tahun 2001, meski embargo militer AS belum dicabut, hubungan militer Indonesia-AS sempat membaik. Ini terlihat dari komitmen George W Bush mengeluarkan dana segar 400 juta dollar AS untuk mendukung pendidikan masyarakat sipil Indonesia di bidang pertahanan melalui kegiatan perluasan pelatihan dan pendidikan militer internasional (expanded international military education and training).
Kedua, AS perlahan-lahan mendominasi pasokan alutsista ke Indonesia. Memang, pasca kemerdekaan, Indonesia lebih banyak memakai peralatan dari Belanda, lalu Frigat dari Rusia mulai masuk. Memasuki tahun 1970-an, alutsista dari AS masuk dan mendominasi peralatan persenjataan Indonesia. Meski Perancis, Korea Selatan, Australia, dan Belanda tetap menjadi langganan. Pasokan AS terlihat dari F-5E/F Tiger II dan Bronco. Dominasi AS terus berlanjut dengan masuknya F-16 Fighting Falcon akhir 1989.
Ketiga, kerja sama peralatan persenjataan dalam faktanya lebih banyak ditentukan dinamika hubungan politik luar negeri suatu negara, termasuk anatara Indonesia dan AS. Masuknya peralatan Rusia pada 1960-an banyak dipengaruhi sikap politik Presiden Soekarno yang cenderung konfrontatif dengan AS dan lebih dekat dengan Rusia dan China.
Ketika AS menutup alutsista ke Indonesia tahun 1990-an, Indonesia mendatangkan pesawat Sukhoi MK-30 dan helikopter M1-17 dari Rusia. Bahkan, Indonesia mendapatkan kemudahan dari Pemerintah Rusia dengan tidak membeli pesawat satu skuadron (seharusnya pembelian pesawat satu skuadron).
Upaya melakukan perubahan kerja sama militer dengan AS merupakan langkah strategis. Pasca berakhirnya Perang Dingin, AS menjadi kekuatan militer utama yang belum tertandingi. Namun, upaya normalisasi itu tetap harus disikapi dengan kritis mengingat hubungan militer dengan AS tidak boleh mengganggu independensi sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Sudah bukan rahasia lagi, hubungan AS dengan negara lain penuh kepentingan dan konsesi.