Isu HAM dalam Ratifikasi Piagam ASEAN

14 Juli 2008 0 komentar

Minggu ini, selama beberapa hari di Singapura para menteri luar negeri (Menlu) negara-negara ASEAN mempunyai hajatan penting. Mereka menghadiri ASEAN Foreign Ministerial Meeting. Salah satu topik utamanya ialah membahas kemungkinan pembentukan Human Rights Body dalam kerangka Piagam ASEAN.

Masalah ini sebenarnya sangat sensitif dan cukup pelik. Beberapa negara, misalnya Filipina dan Indonesia, memandang masalah ini sebagai persoalan strategis dan sangat penting. Sebaliknya, beberapa negara anggota ASEAN yang lain seperti Vietnam, Laos, dan Myanmar ingin mengesampingkan pentingnya isu HAM dalam ASEAN.

Persoalan isu HAM, jika tidak ditangani dengan baik, dikhawatirkan menghambat ratifikasi Piagam ASEAN yang ditandatangani para kepala negara anggota ASEAN dalam KTT tahun lalu. Deadline bagi seluruh negara anggota ASEAN untuk meratifikasi piagam tersebut adalah akhir tahun ini. Jika sampai akhir Desember nanti ada salah satu negara anggota yang belum meratifikasinya, Piagam ASEAN akan batal disahkan sebagai dasar hukum yang mengikat semua negara anggota.

-----

Posisi RI

Sampai sekarang secara resmi pemerintah belum menyerahkan naskah RUU ratifikasi Piagam ASEAN. Meski demikian, sejak beberapa bulan lalu terjadi perdebatan sengit apakah DPR harus serta merta segera meratifikasinya bila diajukan pemerintah.

Kelompok pertama yang mendukung segera diratifikasinya Piagam Jakarta berdalih bahwa meski banyak kekurangan, adanya piagam yang mengikat semua anggota jauh lebih baik jika tidak ada sama sekali. Kelompok ini juga menekankan fakta bahwa setelah lebih dari 40 tahun eksistensinya, akhirnya ASEAN kali ini berhasil merumuskan "konstitusi" yang akan membantu mewujudkan adanya bangsa ASEAN.

Mereka juga menunjuk pembukaan piagam ini yang diawali dengan kalimat, "We the people of ASEAN.... (Kami bangsa ASEAN)" yang berkonotasi terjadinya integrasi bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara.

Kelompok kedua yang menentang segera diratifikasinya Piagam ASEAN berdalih bahwa meski tidak ada piagam, selama ini ASEAN juga bisa berjalan dengan baik. Buat apa ada piagam jika malah merepotkan dan merugikan ASEAN, khususnya untuk Indonesia?

Toh selama empat puluh tahun tanpa piagam, Indonesia sudah bisa melaksanakan fungsi diplomasinya di negara ASEAN dengan baik, bahkan sering bertindak sebagai "saudara tua" bagi negara-negara lain.

Kelompok penentang ratifikasi Piagam ASEAN menunjukkan sejumlah kelemahan mendasar. Selain tidak ada jaminan mengenai dihormatinya HAM dalam ASEAN, piagam tersebut mempunyai kelemahan pokok karena setiap pengambilan keputusan harus merupakan mufakat bulat.

Padahal, di zaman rezim Orde Baru, dimungkinkan adanya keputusan lonjong, yakni semua pihak mufakat kecuali satu atau dua negara saja. Kelemahan prinsip itu sudah tampak pada tahun lalu ketika Myanmar menolak hadirnya utusan khusus PBB Ibrahim Gambari yang akan berbicara dalam forum KTT. Akhirnya dia batal hadir karena adanya penolakan itu. Kondisi tersebut akan menyebabkan negara-negara anggota ASEAN bisa disandera oleh sikap rezim Myanmar.

Para penentang Piagam ASEAN mengkritik pula rencana perluasan Sekretariat Jenderal (Sekjen) ASEAN tanpa dibarengi kenaikan anggaran yang diperoleh dari iuran masing-masing anggota. Saat ini iuran dipatok dengan maksimal kemampuan negara termiskin dalam ASEAN, yakni Laos, yang hanya sanggup membayar sekitar USD 900 ribu. Maka negara lain menyetor iuran yang sama. Tidak pernah diubah mekanisme iuran yang lebih layak. Misalnya, Singapura dan Brunei yang lebih kaya harus membayar lebih tinggi daripada Laos.

Demikian juga Indonesia yang lebih besar dan jumlah penduduk lebih padat sangat layak jika iurannya juga lebih banyak.

Namun, yang paling memprihatinkan dan menjadi perdebatan sengit ialah soal Human Rights Body yang dianggap belum jelas bentuknya. Sejumlah kalangan DPR mengecam Dirjen ASEAN yang dalam perundingan perumusan draf Piagam ASEAN dianggap kurang gigih memperjuangkannya.

Para ahli dari CSIS, seperti Jusuf Wanandi, dalam presentasinya di Komisi I DPR beberapa waktu lalu menyayangkan kegagalan Indonesia memperjuangkan berdirinya komisi HAM ASEAN. Yang disepakati hanyalah akan dibentuknya Human Rights Body yang isinya akan ditetapkan dalam pertemuan AMM (ASEAN Foreign Ministerial Meeting) di Singapura minggu ini.

Jelas, hasil AMM sangat berpengaruh terhadap kelanjutan ratifikasi Piagam ASEAN. Jika pertemuan di Singapura ini gagal mewujudkan gagasan konkret mengenai Komisi HAM ASEAN, sulit bagi pemerintah RI meminta dukungan DPR agar meratifikasi Piagam ASEAN.

Bagi sebagian besar fraksi di DPR, pembentukan Komisi HAM sangat penting. Tidak bisa ditawar-tawar. Mereka siap berkompromi dengan menunggu klarifikasi lebih lanjut dari hasil AMM minggu ini. Jika tidak ada jaminan mengenai lahirnya Komisi HAM, sulit Piagam ASEAN disahkan.

Mungkin DPR akan setuju dengan penundaaan pembentukan Komisi HAM ASEAN. Tapi, sebagai suatu prinsip pokok hendaknya hal itu bisa disepakati dalam pertemuan di Singapura ini.

-----

Penutup

Banyak yang ragu pertemuan Menlu ASEAN di Singapura tersebut menghasilkan sesuatu yang konkret, mengingat kerasnya sikap junta militer Myanmar terhadap ide Komisi HAM dalam ASEAN. Mereka bahkan terus memenjarakan Aung San Suu Kyi tanpa proses hukum.

Myanmar juga terus mengabaikan tekanan internasional. Bahkan, Myanmar melecehkannya dengan menggelar referendum konstitusi yang penuh kecurangan. Karena itu, tidak akan banyak yang bisa diharapkan dari pertemuan tersebut. Apalagi, Indonesia hanya sendirian. Paling banter hanya didukung Filipina.