TJAHJO KUMOLO; RUU Rahasia Negara Ancam Transparansi

27 Februari 2009

RUU Rahasia Negara dikembalikan DPR kepada pemerintah. Itu langkah bagus, namun perlu sejumlah catatan terkait perbaikan draf RUU tersebut. Mengapa? Dalam draf RUU Rahasia Negara dinyatakan bahwa ”Rahasia negara adalah informasi yang secara resmi ditetapkan untuk mendapatkan perlindungan melalui suatu mekanisme kerahasiaan yang diselenggarakan berdasar ketentuan undang-undang yang berlaku dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dan rasional untuk mencegah atau menghadapi berbagai hal yang secara objektif dapat mengancam kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pihak yang berwenang menentukan rahasia atau tidaknya sebuah informasi merujuk pada ketentuan rahasia negara ditentukan oleh pimpinan instansi dan diselenggarakan oleh aparat negara yang melaksanakan kegiatan menyangkut operasi militer, teknologi persenjataan, kegiatan diplomatik, kegiatan intelijen, dan kegiatan pengembangan kriptografi. Sepintas, kalau kita perhatikan klausul tersebut, tidak ada masalah dengan RUU Rahasia Negara. Namun, secara keseluruhan, ada masalah serius dalam RUU Rahasia Negara yang diajukan pemerintah ke DPR.

Setidaknya, RUU tersebut sangat berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Draf RUU Rahasia Negara usulan pemerintah mendefinisikan istilah rahasia negara terlalu luas, bahkan juga mengatur kerahasiaan birokrasi, dan mengarah pada perlindungan untuk kepentingan politis. Dengan kata lain, RUU itu bertendensi menjadi aturan hukum yang tidak hanya mengatur kerahasiaan negara, tapi juga kerahasiaan birokrasi dan politik. Kalau birokrasi dan politik dilindungi UU Rahasia Negara, jelas tidak mungkin lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa memonitor indikasi pelanggaran di tubuh institusi tersebut.


Tidak Mencakup Birokrasi

Seharusnya, UU Rahasia Negara tidak mencakup birokrasi dan politik karena birokrasi harus transparan, dapat dipantau publik kapan pun. Kalau RUU itu dipertahankan, birokrasi dan politik kita akan sama dengan keadaan birokrasi dan politik di negara komunis atau negara totaliter.

Padahal, kita ini menganut sistem demokrasi. Artinya, asas transparansi dan pertanggungjawaban publik harus ditegakkan. Birokrasi adalah lembaga publik yang harus terbuka terhadap kontrol publik. Selama ini, kita sudah lelah membahas bagaimana membangun birokrasi modern yang benar-benar transparan, bersih, akuntabel, dan profesional. Pembenahan birokrasi adalah langkah penting menuju terbentuknya apa yang kita namakan pemerintah bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Tapi, kalau RUU Rahasia Negara melindungi birokrasi dari pengawasan publik, dengan dalih ”rahasia negara”, kita tidak akan mencapai hasil yang optimal dalam membenahi birokrasi yang carut-marut. Pemerintah harus kembali pada prinsip pokok bahwa birokrasi harus transparan dan terbuka bagi publik untuk mengawasi. Selain itu, politik harus terbuka, tidak malah ditutup-tutupi oleh UU Rahasia Negara. Publik akan menebak bahwa RUU Rahasia Negara ini akan melindungi koruptor politik. Apalagi, suhu politik sedang panas menjelang Pemilu 2009.

Pembacaan publik akan mengarah pada kepentingan pemilu. Karena itu, kalau Komisi I DPR tidak berhati-hati, mereka akan terjebak membahas RUU yang substansinya bermasalah. Kita sudah sepakat mendorong demokrasi dengan mengecilkan sumber dan efek dari korupsi. Kalau RUU Rahasia Negara kemudian mencakup politik, itu berarti kita mengingkari semangat reformasi. Entah berapa koruptor akan terselamatkan karena dilindungi oleh ketentuan mengenai rahasia negara.


Mengamputasi UU

Kelemahan lain RUU Rahasia Negara adalah ada potensi mengamputasi UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Seharusnya, RUU Rahasia Negara tidak boleh melanggar prinsip-prinsip kebebasan mendapatkan informasi yang diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Tapi, dengan draf yang sekarang, UU KIP praktis tidak akan bisa diterapkan kalau materi RUU Rahasia Negara seperti yang tertuang dalam draf yang diusulkan pemerintah.

Setelah perbaikan nanti, nuansa macam itu harus hilang. Karena itu, untuk menyelaraskan maksud dan tujuan penegakan hukum ke depan, tidak ada jalan lain selain Komisi I DPR yang menangani RUU Rahasia Negara mencermati lebih serius, tidak hanya menolak draf usulan pemerintah tersebut. Komisi I DPR harus terus mempelajari draf perbaikan kalau nanti pemerintah menyerahkan kembali ke DPR untuk dibahas lebih lanjut. Selama ini, kalangan aktivis menuduh RUU Rahasia Negara sebagai ”hantu demokrasi”. Ada benarnya. Sebab, ada kecenderungan RUU itu akan memengaruhi terjadinya penyelewengan kekuasaan.

0 komentar:

Posting Komentar