Tanah Untuk Korporasi

10 Mei 2009


Suatu kekeliruan besar apabila Undang-undang Penanaman Modal hanya dipahami dalam perspektif ketaatan pada mekanisme, namun merelatifkan aspirasi publik dan konsepsi kerakyatan sebagai ideologi dasar pembuatan undang-undang. Kualitas keputusan (baca undang-undang) harus menjadi bagian arsitektur strategik bangsa untuk menumbuhkan kesadaran arah masa depan (sense of direction).

Dalam realitas globalisasi, kesadaran arah masa depan lebih ditekankan pada perspektif ekonomi dengan mengedepankan kompetisi/daya saing, efisiensi, transparansi dan kelenturan terhadap mekanisme pasar. George Soros dengan tajam mengkritik pemerintahan yang terbuai kehebatan mekanisme pasar namun melupakan regulasi. Bahkan liberalisasi yang berlebihan menciptakan fundamentalisme pasar yang menjadikan korporasi sebagai institusi patologis. Contoh konkritnya adalah aksi unilateral atas Irak yang �dibenarkan� demi kepentingan korporasi yang bergerak di industri persenjataan.

Kekuatan mayoritas legislator dan pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat ternyata mengikuti credo fundamentalisme pasar dan menjadi sempurna ketika hak atas tanah dilegalkan sebagai �obat mujarab� penarik investasi. Disinilah kompetisi yang sebenarnya terjadi sehingga hak guna usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana dirumuskan di Pasal 22 UU Penanaman Modal.

Ketentuan tersebut semakin menyempurnakan bekerjanya dependency theory secara total dimana negara-negara kaya menyerap surplus value dari negara-negara dunia ketiga melalui eksploitasi raw material. Dalam teori ini, maka tanah dan bahan baku hanya sebagai sumber utama pendapatan negara. Argumentasi yang memaparkan kisah panjang konflik sumber daya agraria antara rakyat dengan penjajah Belanda dan antara rakyat dengan korporasi besar tidak mampu membendung pencantuman hak atas tanah.

Perdebatan Hukum
Perang argumentasi terhebat berkaitan hak atas tanak melunak oleh penegasan dan jaminan dari ahli hukum pemerintah bahwa hak atas tanah tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Akrobat hukum pun dilakukan dengan memasukkan kata-kata �dapat diberikan�, sebagai opsi bagi pemerintah setelah seluruh persyaratan terpenuhi.

Pembenaran juga diberikan dengan mengutip ketentuan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 yang mengatur ketentuan perpanjangan dimuka sekaligus terhadap hak atas tanah. Fakta yang ada, tidak ada satu kata pun dalam PP yang memperkuat pendapat pemerintah. Sayang fakta ini ditemukan pada babak terakhir pembahasan. Disinilah terjadi penyesatan informasi demi menjaga �sensualitas� Undang-undang Penanaman Modal dimata investor.

Penyesatan informasi terjadi pada tiga aspek. Pertama, dengan menempatkan PP yang secara hirarki berada di bawah UU sebagai konsideran atau pertimbangan dalam penyusunan UU. Kedua, aspirasi publik dan pendapat ahli hukum agraria dimentahkan oleh simbolisasi legalitas kewenangan DPR dan Pemerintah dalam pembahasan undang-undang. Buktinya permintaan untuk melakukan uji publik ditolak demi pemenuhan janji terhadap investor. Ketiga, undang-undang ini terlalu jauh masuk ke ranah yang paling sensitif dan mereduksi kekhususan Undang-undang Pokok Agraria. Fakta di atas semakin memperkuat terjadinya pelanggaran UU No 5 tahun 1960 dan bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Minderheids nota yang diberikan oleh Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa justru dicurigai sebagai politik tebar pesona dan dianggap mengancam iklim investasi yang tidak kunjung membaik. Inilah kalau demokrasi masih berada di tatanan prosedural yang tidak membuka pintu untuk melakukan penundaan. Apakah ini cerminan kekuatan lobi korporasi sebagai phenomena globalisasi?

Kekuatan Korporasi
Dalam politik tidak ada hal yang kebetulan, lebih-lebih terhadap realitas kuatnya pengaruh korporasi terhadap kebijakan. Karena itulah argumentasi pemerintah dan fraksi-fraksi pendukung HGU 95 tahun hanyalah sebagai �akrobat politik� bahkan suatu penerapan keliru dari state of the art of politics. Apakah perumusan tersebut sebagai hasil lobi jejaring korporasi besar yang diuntungkan oleh kepastian hak atas tanah? Fakta yang ada, keberhasilan memanipulasi Undang-undang no 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, menjadikan Freeport di Papua, Newmont di NTB, Caltex/Chevron di Riau, ExxonMobil di Aceh dan di Blok Cepu berjaya dalam genggaman asing. Disinilah hukum ditempatkan sebagai alat klaim atas pembenaran untuk kepentingan tertentu. Hukum bukanlah kenyataan baku, melainkan dapat direkonstruksi berdasar kepentingan tertentu. Bahkan ditengah krisis realisasi investasi, Pemerintahan SBY-Kalla lebih suka �menginvestasikan� dana lebih dari tiga trilyun rupiah untuk membeli beras dari petani Vietnam dan Thailand daripada menanamkan untuk kepentingan petani di negeri sendiri.

Legitimasi kekuasaan
Refleksi atas pembahasan RUU Penanaman Modal menempatkan pentingnya nasionalisme, sumber legitimasi kekuasaan dan tanggung jawab moral penyusunan undang-undang. Pemerintah dan DPR harus jujur mengakui terjadinya perubahan paradigma kekuasaan dan otoritas kekuasaan. Faucoult (1980) mengatakan bahwa kekuasaan telah mengalami perubahan, ia bukan lagi sesuatu yang melekat pada status. Pemegang otoritas, tidak selalu dilekati dengan kekuasaan. Karena itulah menjadi penting untuk melihat orientasi dan dasar legitimasi kekuasaan agar pembahasan undang-undang tidak terjebak pada sandaran kelompok kepentingan. Dengan demikian Senayan dan Istana Presiden dapat menjadi ajang kontestasi kekuasaan dan perebutan pengaruh kelompok kepentingan, termasuk jaringan modal tertentu dan relasi politik internasional tertentu.

Ketika kritik publik tidak bisa membendung pengesahan undang-undang, maka keputusan tersebut pasti akan dikoreksi oleh sejarah. Para pemuja penanam modal harus diingatkan bahwa sumber daya agraria tidak berada dalam landscape geografical semata. Di atas sumber daya agraria terbentuk pula hubungan-hubungan sosial dan kultural, bahkan identitas kelompok direproduksi di atas landscape yang sama. Inilah potensi ancaman terbesar ketika hak guna usaha diberikan selama 95 tahun.

Di luar itu, demokrasi modern menempatkan masyarakat sipil pada peran penting dalam proses kontestasi kekuasaan. Walaupun masyarakat sipil bukanlah pemegang otoritas, namun merekalah pemberi legalitas kekuasaan dan merekalah pemilik legitimasi kekuasaan. Kekuatan energi kolektif rakyatlah yang akan meluruskan ketidakadilan yang terjadi.

Demokrasi kini berproses dalam peningkatan kesadaran politik rakyat. Masih ada harapan untuk bangkit. Syaratnya, setiap keputusan politik harus diaudit manfaatnya bagi rakyat demi terwujudnya kedaulatan di bidang politik, keberdikarian di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Inilah Trisakti yang selalu relevan dengan tantangan jaman. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar