Demokrasi dan Nasib Rakyat Miskin

10 Mei 2009



APAKAH demokrasi otomatis membawa perbaikan nasib rakyat miskin? Jawabnya: tidak selalu. Buktinya, nyaris sepuluh tahun kita menjalani era demokrasi, tapi faktanya nasib kaum miskin tetap saja merana. Petani, buruh, buruh tani, pedagang kaki lima, pengusaha lemah, penganggur, justru makin hari kian sulit mengusahakan penghidupannya.

Janji-janji parpol atau politisi yang begitu meninabobokan kaum miskin selama kampanye, seolah sah-sah saja jika tidak direalisasikan seusai pemilu.

Elite politik lalu sibuk sendiri dengan agenda pembagian jatah kursi, pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, ataupun program-program elitis lainnya. Sedangkan kaum miskin dilupakan begitu saja, kecuali dengan sejumlah kecil program karikatif seperti bantuan langsung tunai atau beras keluarga miskin (raskin) –yang lebih terkait politik pencitraan pemerintah belaka dan hampir tak berdampak pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.

Melalui demokrasi, rakyat miskin secara politik memang berdaulat. Tapi tidak demikian dalam lapangan ekonomi. Kaum papa memang leluasa memilih parpol atau wakilnya selama pemilu. Namun begitu pemilu rampung, wong cilik harus menghadapi lagi kenyataan: nasib mereka tak juga lebih baik.

Bahkan, tak sedikit kaum miskin yang justru merasakan, sesudah era demokrasi, nasibnya malah lebih buruk: jadi korban PHK, diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi buruh kontrak, menjadi petani padi yang terus merugi, bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha raksasa transnasional, atau digusur lokasi usahanya demi ketertiban kota.

Maka tepat jika para bapak bangsa kita, seperti Soekarno-Hatta, sejak dini mengingatkan: demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi, hanya akan menyandera kaum miskin tetap abadi dalam ketidakberdayaannya.

Lantas, yang jadi soal, bagaimana mengoptimalkan demokrasi politik agar melahirkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi? Bagaimana agar proses politik demokratis mampu memperbaiki nasib kaum yang paling miskin dan terpinggirkan?

Di sini mestinya difahami bahwa hidup sejahtera ialah salah satu hak asasi rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi dengan sendirinya meniscayakan hak setiap rakyat untuk disejahterakan kehidupannya oleh penyelenggara negara.

Sebaliknya negara atau pemerintahan, seperti disinggung Pembukaan UUD 45, wajib melakukan kegiatan bagi terpenuhinya hak hidup sejahtera atau kesejahteraan umum tersebut.

Politik Anggaran
Salah satu yang bisa dilakukan para penyelenggara negara agar proses politik demokratis menjamin perbaikan nasib rakyat kecil –yang merupakan mayoritas warga bangsa— ialah dengan memanfaatkan hak politik anggaran di parlemen.

Kenapa? Karena sejak amandemen UUD 45, fungsi bujet atau penganggaran ada di tangan legislatif. Dengan kata lain, boleh saja eksekutif menyusun rencana muluk-muluk, tapi jika anggarannya tidak disetujui DPR atau DPRD, ide mereka takkan dapat diimplementasikan dalam kenyataan.

Di sinilah letak strategis peran anggota legislatif, dari mana pun asal parpolnya, untuk dapat “memaksa” eksekutif agar hanya menjalankan agenda yang benar-benar prorakyat atau memihak rakyat miskin.

Secara umum, agar lebih membawa manfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, maka politik anggaran yang dilakukan DPR atau DPRD harus mengupayakan agar alokasi belanja publik selalu lebih besar daripada alokasi biaya aparatur pemerintah atau lembaga negara. Idealnya, alokasi belanja publik harus mencapai 50 persen lebih dibanding alokasi belanja pegawai.

Akan tetapi, alokasi tiap sektor dari anggaran belanja publik ini pun tetap harus dikontrol. Sebab percuma saja alokasi belanja publik besar tapi peruntukannya lebih untuk kepentingan elite juga, seperti pembelian mobil dinas pejabat, pembuatan taman kota, pembangunan rumah dinas, dan seterusnya.

Karenanya, agar berdampak perbaikan nasib kaum miskin, prioritas anggaran belanja publik mestinya untuk membiayai agenda yang populis atau memihak kepentingan rakyat miskin. Lebih baik lagi jika agenda tersebut memiliki efek berantai bagi peningkatan kesejahteraan wong cilik.

Misalnya, untuk membangun sentra-sentra pertumbuhan ekonomi (center of growth) baru, seperti pasar atau ruko, yang bisa diakses pengusaha kecil; penciptaan lapangan kerja baru secara massal; beasiswa bagi anak-anak pintar keluarga miskin; penguatan modal pengusaha lemah dan koperasi secara bergulir; dan sebagainya.

Tapi sayangnya, APBN kita sejak reformasi hingga sekarang ini masih saja lebih besar mengalokasikan anggaran bagi belanja pegawai ketimbang belanja publik. Demikian juga dengan APBD-APBD.

Karena itu tak heran jika mayoritas rakyat miskin akan selalu merasa kecewa seusai pemilu. Sebab, siapa pun yang berkuasa, parpol mana pun yang tampil sebagai pemenang pemilu, ternyata muaranya sama saja: uang negara lebih banyak dihamburkan untuk menggaji pegawai atau menopang biaya aktivitas para birokrat.

Ironisnya, kendati telah memakan anggaran negara melebihi alokasi belanja publik, tetap saja birokrasi kita tidak efisien dan terkenal korup.

Kaukus Rakyat Miskin

Walhasil dituntut kepekaan nurani sekitar 20 ribu wakil rakyat kita untuk betul-betul memihak rakyat miskin tatkala akan menggolkan RAPBN atau RAPBD yang diajukan eksekutif. Program-program yang tak langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat harusnya disingkirkan. Sebaliknya, program yang prorakyat, terutama mayoritas rakyat yang lemah (dhu’afa) dan terpinggirkan (musdhad’afin), harus selalu diprioritaskan.

Memang, upaya menyejahterakan rakyat miskin melalui saluran demokrasi tidak semudah membalikkan tangan. Namun komitmen memperjuangkan perbaikan kehidupan rakyat harus tetap berlangsung sejalan kian meningkatnya kualitas kita dalam berdemokrasi.

Jika perlu, demi memperjuangkan nasib kaum miskin ini, para anggota legislatif lintas parpol –yang sama-sama punya keberpihakan kepada rakyat miskin— dapat membentuk kaukus rakyat miskin. Kaukus ini memiliki program perjuangan berupa mengawal tiap produk perundangan dan terutama politik anggaran DPR/DPRD agar selalu memihak atau menguntungkan rakyat miskin.

Apabila harapan ini bisa dipenuhi, maka siapa pun yang menjadi eksekutif atau pelaksana pemerintahan, tidak masalah bagi rakyat miskin. Sebab anggaran yang dialokasikan sejak dini selalu diarahkan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat kecil.

Dengan demikian, harapan bahwa suara wakil rakyat identik dengan suara rakyat bukanlah mimpi atau utopia belaka. Dan, karena rakyat kebanyakan ialah kaum miskin atau wong cilik, maka dengan lain kata: demokrasi bisa dirasakan tak cuma membawa manfaat politik bagi rakyat kecil, tapi juga manfaat ekonomi bagi kaum marjinal. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar